Betulkah Anak Dari Keluarga Miskin Cenderung Miskin Ketika Dewasa?
SB30 – Sahabat entrepreneur, salam hebat luar biasa! Pada video kali ini saya ingin membahas topik tentang : Betulkah Anak Dari Keluarga Miskin Cenderung Miskin Ketika Dewasa? Dan ini semua sumbernya dari research.
Temuan ini adalah sebuah research dari Lembaga SMERU Institute.
“Anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian yang telah dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin.
Menggunakan data yang diambil dari kehidupan rumah tangga di Indonesia atau yang disebut dengan Indonesian Family Life Survey (IFLS), tim peneliti SMERU Institute yang dipimpin oleh Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, Asep Suryahadi mengolah data dari 1.522 anak dan membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22-31 tahun.
Menariknya, ketika riset ini dirilis ke publik, beberapa pihak menyangsikan hasil penelitian tersebut. Beberapa menampik hasil riset ini dan memilih percaya bahwa anak yang miskin bisa saja terlepas dari jerat kemiskinan ketika mereka bekerja keras.
Akan tetapi disini ada Tweet dari Daniel Suryadarma :
“Lahir di keluarga miskin, apakah bisa tetap sukses pada saat dewasa? Sangat jarang terjadi. Berikut hasil studi kami di Indonesia.”
Jadi, semua itu berdasarkan research.
Penelitian tersebut memang bersifat kuantitatif dan tidak menjawab mengapa anak yang tumbuh dari keluarga miskin akan cenderung tetap miskin ketika mereka dewasa.
Mereka tidak menjelaskan mengapa. Anda tahu permasalahannya dimana? Jawabannya hanya ada di channel Success Before 30. Tentunya anda tahu sendiri bagaimana caranya untuk bisa keluar dari jeratan kemiskinan.
Namun, pada 2015, saya terlibat dalam sebuah penelitian kualitatif yang juga dilakukan SMERU Institute yang dapat membantu menjelaskan mengapa ini bisa terjadi.
Penelitian itu menunjukkan bahwa keluar dari jerat kemiskinan tidak semudah yang banyak orang kira karena kemiskinan yang terjadi pada anak-anak berkaitan dengan kondisi kemiskinan keluarganya. Kemiskinan keluarga akan membatasi akses anak-anak mereka terhadap berbagai kesempatan (misalnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan) yang sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka.
Penelitian kami tahun 2015 dilakukan di dua kelurahan yang berbeda di Jakarta; Makassar, Sulawesi Selatan; dan Surakarta, Jawa Tengah.
Riset ini melibatkan setidaknya 250 anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin yang berusia 6-17 tahun di ketiga kota tersebut.
Dalam penelitian ini, kami ingin mengamati perspektif subjektif anak-anak tentang kemiskinan. Kami mewawancarai anak-anak tersebut tentang kondisi hidup mereka dan menemukan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya.
Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak rupanya sangat mampu menjelaskan kompleksitas kemiskinan yang menjeratnya. Mereka menyadari adanya perbedaan status sosial-ekonomi di lingkungannya melalui hal-hal yang tampak seperti kondisi tempat tinggal, cara berpakaian, serta kepemilikan alat komunikasi dan kendaraan.
Seorang anak bisa mengatakan mereka miskin ketika mereka tinggal di rumah yang kecil, tidak punya banyak kamar, lingkungan yang padat dan relatif kumuh seperti banyak sampah. Mereka bisa mendeskripsikan teman-teman yang tidak miskin dengan sebagai anak-anak yang memiliki telepon seluler dan kendaraan bermotor.
Dari wawancara anak-anak yang menceritakan kondisi hidup mereka, penelitian kami menyimpulkan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya.
Dengan kata lain, perbedaan kesejahteraan orang tua menyebabkan kondisi ekonomi anak-anak mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar.
Anak yang orang tuanya memiliki aset atau sumber daya maka akan memberikan peluang bagi anaknya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan atau kesuksesan pada masa depan.
Misalnya, anak-anak yang lahir dari keluarga kaya memiliki peluang jauh lebih besar untuk memperoleh pendidikan non formal, baik yang sifatnya mendukung capaian pendidikan formal maupun yang sifatnya mengasah keterampilan serta kemampuan emosional dan spiritual bahkan sejak usia dini. Akses pada pendidikan yang tidak seimbang ini menjelaskan mengapa anak miskin sulit keluar dari jerat kemiskinan.
Contoh lain, anak-anak tidak miskin yang dibekali telepon seluler dan kendaraan bermotor dianggap memiliki peluang lebih besar untuk melakukan mobilitas, mendapat pengalaman baru, termasuk berjejaring dengan orang-orang baru yang akan memberikan peluang ekonomi yang lebih besar.
Belum lagi perbedaan pola asuh di masyarakat miskin yang cenderung otoriter dan reaktif yang berisiko melanggengkan budaya miskin.
Anak-anak dari keluarga miskin mengaku bahwa orang tua mereka cenderung mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya menghadapi masalah ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa masalah itu bisa terjadi dan mendapat jalan keluarnya.
Hal ini memang terjadi. Dan contoh yang paling gampang, bisa kita lihat di sinetron Indonesia. Anda pasti langsung paham.
Sebagai contoh, seorang anak mengaku lebih sering menerima pukulan saat orang tuanya tahu bahwa dirinya berkelahi di sekolah. Padahal, perkelahian tersebut karena sang anak menerima perundungan dari teman-teman sebayanya. Tanpa kemampuan mendengar dan mencarikan jalan keluarnya, perilaku orang tua seperti itu hanya akan membuat sang anak semakin frustrasi menjalani pendidikan, padahal pendidikan adalah solusi bagi kemiskinan.
Pola pengasuhan tentu sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan orang tua.
Kita tahu, bahwa sekitar 63% penduduk miskin di Indonesia hanya memperoleh pendidikan setara sekolah dasar atau tidak bersekolah sama sekali.
Itulah sebabnya saat ini saya bersama CPN Foundation dan dengan Kitabisa.com menggalang dana melalui sebuah komunitas yang bernama “Generasi Muda Beramal”.
Jadi, saya mengumpulkan dana untuk memberikan beasiswa kepada orang-orang miskin agar mereka memiliki kesempatan yang setara dengan orang lain.
Mereka memiliki kemampuan dan talenta, akan tetapi mereka dibesarkan di lingkungan yang tidak tepat. Sekarang pertanyaan saya satu :
Mengapa di thumbnail atau di cover video, saya menampilkan potret Ajik Krisna? Seperti yang kita ketahui, Ajik Krisna itu awalnya berada dalam kondisi yang sama dengan anak-anak tersebut.
Beliau lahir di kota kecil, Singaraja yang sangat kumuh di Bali Utara. Akan tetapi, beliau nekat merantau ke Denpasar hanya dengan menumpang pada truk hingga menempuh perjalanan ratusan kilometer selama 3 jam.
Dan dalam perjalanan hidupnya, beliau itu sampai terpaksa minum air sungai dan mencuri semangka demi bertahan hidup. Bahkan saat pertama kali datang di perantauan, ia tidur di pos satpam. Ia rela bekerja sebagai tukang cuci mobil dan sebagainya. Itulah kisah masa lalu Ajik Krisna yang sangat keras.
Parahnya lagi, beliau juga tidak memiliki akses dalam hal teknologi. Namun saya percaya, beliau bisa berhasil karena mau merantau. Itulah kunci keberhasilan beliau. Dalam kisah perantauannya, ternyata beliau juga menemukan “ayah baru” yang merupakan bosnya. Bos tersebut yang memberi perubahan di dalam hidup beliau.
Anda bisa melihat kisah selengkapnya di video saya bersama Ajik Krisna yang sudah saya unggah beberapa waktu lalu. Kisah itulah yang mengubah Ajik Krisna secara keseluruhan. Dan beliau benar-benar merupakan cerminan bagi masyarakat miskin di Indonesia pada umumnya.
Jika research ini memang benar, maka perilaku mereka kurang lebih seperti berikut ini, yang saya tampilkan di video saya. Komentar tersebut bermunculan ketika saya posting bahwa saya ingin memberikan sayembara berhadiah kepada Atta Halilintar ketika ia mendapatkan hate speech comment dari seseorang yang menurut saya ‘sakit jiwa’ karena mendoakan Aurel Hermansyah agar cepat mati, bukan mendoakan supaya segera hamil.
Tentu anda tahu bahwa Atta adalah salah satu sahabat saya dan merupakan partner bisnis saya. Dan tentunya, saya tidak terima jika ada salah satu sahabat saya yang dibully netizen. Namun yang membuat saya terkejut adalah reaksi netizen ketika saya memberikan sayembara tersebut.
Ada banyak komentar-komentar dari orang yang kenal saya juga tidak, akan tetapi mendadak ia menjadi pengemis online. Pola asuh orang tua mereka itu juga salah. Karena mereka bisa membeli handphone, bisa memiliki akun Instagram, bahkan bisa menulis komentar dengan rapi.
Namun ketika mereka diasuh dengan benar, maka hal ini akan menjadi sebuah permasalahan besar dan research ini memang betul.
Jadi apabila dikatakan “pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin”, saya setuju. Akan tetapi ingatlah, masih ada 13% persen yang tersisa.
Melalui channel Success Before 30, semoga kita bisa menemukan calon orang sukses berikutnya dari 13% tersebut.
Sahabat entrepreneur, demikian sharing saya kali ini. Semoga video kali bermanfaat. Sukses selalu, dan salam hebat luar biasa!!